BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Budaya
merupakan kekuatan dalam mengatur perilaku manusia. Ini terdiri dari
seperangkat pola perilaku yang ditularkan dan dipertahankan oleh anggota
masyarakat tertentu melalui berbagai cara (Arnolds & Thompson, 2005).
Sebagai contoh, anggota dalam budaya yang sama memiliki kesamaan bahasa (Lee,
2000), instruksi pola (Kelley & Wendt, 2002) dan imitasi (Barney, 1986),
dan mereka berbagi nilai yang sama (Hofstede, 2001). Nilai-nilai ini cenderung
mempengaruhi perilaku konsumen dan mengatur pilihan kriteria yang digunakan
oleh konsumen individu.
Nilai-nilai
budaya adalah kendaraan yang membawa pengetahuan budaya-ditentukan dari satu
generasi ke generasi lainnya; yaitu, mereka adalah bentuk di mana budaya
disimpan dan menyatakan (Mourali, Laroche, & Pons, 2005). Nilai-nilai ini
disosialisasikan ke kelompok tertentu dan diwariskan ke generasi berikutnya
(Triandis, 1995). Akibatnya, nilai-nilai bertahan dari waktu ke waktu dan,
karena itu, mungkin memiliki pengaruh pada cara konsumen berperilaku. Ini
pengaruh lebih lanjut pilihan-pilihan yang individu membuat mengenai keputusan
konsumen dari produk sehari-hari ke pembelian besar atau penting (Luna &
Gupta, 2001).
Hampir
tidak ada aspek kehidupan bahwa nilai-nilai budaya tidak mempengaruhi (Mourali
et al., 2005). Sistem nilai budaya meliputi unsur-unsur budaya yang orang
memiliki kesamaan dengan kelompok mana mereka berasal, serta nilai-nilai
istimewa yang unik untuk individu yang (Luna & Gupta, 2001). budaya
masyarakat, serta subkultur regional dan nilai-nilai kekeluargaan, semua
mempengaruhi pembentukan nilai-nilai budaya individu. Dengan demikian, dari
awal keberadaan seseorang, ia / dia mengalami manfaat dan pembatasan dari
budaya tertentu, dan mereka manfaat dan batasan mungkin menjadi pengaruh besar
pada keputusan pembelian konsumen (de Mooij, 2010). Sebagai contoh, beberapa
budaya memiliki sifat umum dari hati-hati terhadap pengalaman baru. Konsumen
dari ini latar belakang budaya lebih cenderung mengandalkan nilai-nilai
tradisional (Manrai, Lascu, Manrai, & Babb, 2001), yang berarti,
pertama-tama, bahwa mereka belajar melalui pengamatan daripada segera membeli
produk baru atau inovatif. Pendekatan
ini menciptakan keterbatasan dalam hal preferensi produk atau pilihan
(Leo, Bennett, & Hartel, 2005). Perbedaan nilai budaya di kalangan konsumen
dapat menyebabkan kesulitan bagi para peneliti dalam memahami perilaku konsumen
dalam lingkungan multikultural.
Namun,
budaya umumnya diterima oleh para peneliti pemasaran sebagai salah satu penentu
yang mendasari paling penting dari perilaku konsumen (de Mooij, 2010). peneliti
pemasaran sebelumnya telah menggunakan dimensi budaya, misalnya,
individualisme-kolektivisme, untuk mengukur dampak dari nilai-nilai budaya
dalam penelitian perilaku konsumen (lihat Luna & Gupta, 2001). Studi
sebelumnya termasuk perbedaan budaya dalam perilaku keluhan konsumen (Liu &
McClure, 2001), inovasi konsumen (Steenkamp, 2001), ritel konsumen (de Mooij
& Hofstede, 2002) dan impulse buying (Kacen & Lee, 2002). Penggunaan
individualisme-kolektivisme untuk mengukur nilai-nilai budaya, oleh karena itu,
konsep kunci yang telah berhasil digunakan dalam riset pemasaran lintas budaya
(Obligasi et al., 2004).
Dengan
begitu banyak penekanan pada individualisme-kolektivisme dalam riset pemasaran
lintas budaya, hal ini mengejutkan untuk dicatat bahwa ada sangat sedikit
informasi mengenai pengaruh individualisme-kolektivisme ketika membeli produk
keterlibatan tinggi (Luna & Gupta, 2001). Dalam istilah yang lebih umum, penelitian
telah menunjukkan bahwa budaya dapat bertindak sebagai inhibitor niat dalam
kaitannya dengan pembelian keterlibatan tinggi
(Henry, 1976). Oleh karena itu, mungkin masuk akal untuk mengasumsikan
bahwa umumnya dipegang nilai-nilai individualisme-kolektivisme dapat membentuk
(sampai batas tertentu) pilihan apa yang atau tidak dihargai antara
produk-produk tertentu. Nilai-nilai ini dapat menyebabkan pilihan produk yang berbeda yang dibuat oleh individu dalam
dua kelompok budaya individualisme dan kolektivisme (Doran, 2002). Jika
hubungan antara individualisme-kolektivisme dan pembelian keterlibatan tinggi
dapat dibuktikan, maka budaya bisa menjadi alat pemasaran yang lebih berguna
dan berharga (Manrai & Manrai, 1996; Jung & Sung, 2008). Penelitian ini
bertujuan untuk mencapai hal ini dengan menyelidiki nilai-nilai individualis
dan kolektivis konsumen yang mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Dalam
penelitian ini penulis telah melihat dalam beberapa tahap dari proses
pengambilan keputusan konsumen dalam kaitannya dengan pembelian mobil, yang
dapat membantu para praktisi pemasaran untuk berkomunikasi dengan konsumen
potensial dan saat ini dalam kelompok-kelompok budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
yang dimaksud dengan perilaku konsumen?
2. Bagaimana
yang dimaksud dengan budaya?
3. Bagaimana
yang dimaksud dengan sub budaya?
4. Bagaimana
yang dimaksud dengan nilai budaya?
5. Apa
hubungan antara budaya dengan perilaku konsumen?
6. Apa
hubungan antara ritual dengan perilaku konsumen?
7. Bagaimana
studi riset terkait hubungan budaya dengan perilaku konsumen di global?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan
perilaku konsumen.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan
budaya.
3. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan sub
budaya.
4. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan
nilai budaya.
5. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami hubungan antara budaya
dengan perilaku konsumen.
6. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami hubungan antara ritual
dengan perilaku konsumen.
7. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami studi riset terkait
hubungan budaya dengan perilaku konsumen di global.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Perilaku
Konsumen
Menurut
Asosiasi Pemasaran Amerika (American Marketing Association), perilaku konsumen
dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku,
dan lingkungan yang mana manusia melakukan pertukaran dalam berbagai aspek
dalam kehidupan mereka. Menurut Swastha dan Handoko (2000),”Perilaku konsumen
adalah kegiatan – kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam
mendapatkan dan mempergunakan barang dan jasa termasuk di dalamnya proses
pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan – kegiatan
tersebut.”
Perilaku
konsumen mempelajari bagaimana seseorang membuat keputusan untuk menggunakan
sumber daya yang tersedia (waktu, uang, dan usaha) untuk mendapatkan barang
konsumsi, termasuk apa, mengapa, kapan, di mana, seberapa banyak, seberapa
sering membeli, dan seberapa lama mereka menggunakan (Schiffman & Kanuk,
2008). Menurut Peter dan Olson (2008) teori konsumen adalah dinamis. Dikatakan
dinamis karena pemikiran, perasaan, dan tindakan dari setiap individu konsumen,
kelompok sasaran konsumen, dan masyarakat secara keseluruhan selalu berubah.
Perilaku konsumen melibatkan interaksi antara pemikiran orang – orang,
perasaan, tindakan dan lingkungan. Perilaku konsumen merupakan pertukaran yang
terjadi pada sesama manusia. Pertukaran yang terjadi berupa pertukaran suatu nilai
(value) kepada orang lain dan menerima sesuatu atau sebaliknya.
2.2 Budaya
Menurut
Schiffman (2008) budaya adalah kumpulan tentang keyakinan, nilai, adat yang
berfungsi untuk mengarahkan perilaku konsumen di anggota masyarakat tertentu.
Kotler dan Keller (2007) mengemukakan bahwa budaya adalah penentu keinginan dan
perilaku referensi, dan perilaku manusia ditentukan yang paling mendasar.
Menurut
Prasetijo dan Ihalauw (2005) budaya merupakan pengaruh eksternal yang penting
terhadap perilaku konsumen. Budaya meliputi pengamatan yang menyeluruh terhadap
sifat – sifat masyarakat secara utuh termasuk bahasa, pengetahuan, hukum,
agama, kebiasaan makan, musik, kesenian, teknologi, pola kerja, produk, dan
benda – benda lain yang menunjukkan sesuatu yang khas tentang masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut
Solomon (2004) mendefinisikan budaya sebagai “Culture is the accumulation of
shared meanings, ritual, norms and tradition among the member of an
organization or society”. Budaya adalah akumulasi dari keyakinan bersama,
ritual, norma, dan tradisi di antara anggota organisasi atau masyarakat.
Seorang anak akan mendapat kumpulan nilai, persepsi, preferensi dari
keluarganya yang merupakan bagian dari budaya (Kotler dan Keller, 2007).
Menurut Kotler & Armstrong (2008), anggota keluarga dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar bagi keputusan pembelian seorang konsumen. Orang tua
memberikan arah dalam tuntunan agama, politik, ekonomi, dan harga diri. Bahkan
jika konsumen tidak berhubungan lagi dengan orang tua, pengaruh orang tua
terhadap perilaku konsumen tersebut tetap ada.
2.3 Sub Budaya
Setiap
budaya terdiri sub budaya yang lebih kecil yang memberikan lebih banyak ciri –
ciri dan sosialisasi khusus bagi anggotanya. Sub budaya terdiri dari bangsa,
agama, kelompok ras, dan daerah geografis. Banyak sub budaya yang membentuk
segmen pasar penting dengan merancang produk dan program pemasaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Suatu perusahaan membuat produk sesuai
dengan daerah dimana produk tesebut dipasarkan (Kotler dan Keller, 2007).
Menurut
Solomon (2004), sub budaya terdiri dari anggota yang memiliki kesamaan
kepercayaan dan pengalaman yang membedakan anggota tersebut dari yang lain.
Anggota ini bisa didasarkan dari kesamaan umur, ras, latar belakang suku, atau
tempat tinggal. Setiap suku memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda,
seperti dalam menentukan suatu produk, memilih tempat wisata, perilaku politik
serta keinginan untuk mencoba produk baru. Dalam segi umur pun juga
mempengaruhi dalam perilaku konsumsi.
Menurut
Schifman dan Kanuk (2008), sub budaya membagi keseluruhan masyarakat menjadi
berbagai macam variabel sosiobudaya dan demografis seperti kebangsaan, agama,
lokasi geografis, ras, usia, gender, dan bahkan status pekerjaan. Para anggota
sub budaya tertentu mempunyai nilai – nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang
membedakan anggota sub budaya tersebut dari anggota lain dalam masyarakat yang
sama.
2.4 Nilai Budaya
(Culture Value)
Ketika
kita berbicara tentang keterkaitan pemasaran dan budaya, maka kita dapat
menelusur dari perbedaan pemahaman mengenai konsep kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dirasakan kurang oleh manusia, sehingga
mendorong manusia untuk melakukan pemenuhan terhadapnya. Tiap orang mempunyai
kebutuhan yang sama di semua tempat tanpa terkecuali. Mereka membutuhkan
makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan rasa aman.
Keinginan
berbeda dengan kebutuhan. Keinginan dipengaruhi oleh budaya dan adat kebiasaan.
Sebagai contoh, Kotler memberikan gambaran bahwa orang sama-sama membutuhkan
pakaian. Namun pakaian yang dipakai orang Irian berbeda dengan orang Amerika
dan orang Jepang. Demikian juga dengan apa yang dimakan. Orang Jawa suka makan
nasi sebagai makanan pokok, sementara orang Amerika makan roti atau segala
sesuatu yang terbuat dari gandum.
Dalam
pemasaran, menurut Assael (1998) nilai budaya sangat mungkin mempengaruhi
anggota masyarakat dalam pola pembelian dan pola konsumsi. Seorang konsumen
mungkin akan memberikan nilai yang tinggi pada pen capaian dan akan
memperlihatkan kesuksesan dengan kemewahan dan prestise. Konsumen yang lain,
akan menyampaikannya lewat kesan awet muda dan aktif. Budaya tidak hanya
mempengaruhi perilaku konsumen, budaya merefleksikan perilaku. Klub fitness,
diet, skin care lotion, dan produk rendah lemak, memperlihatkan mencerminkan
budaya Amerika yang memberikan perhatian pada gaya muda dan perhatian terhadap
kebugaran. Lebih dari itu, budaya menjadi cermin baik itu nilai dan kepemilikan
benda-benda oleh anggotanya.
Rokeach
(1973) mendefinisikan nilai budaya (cultural value) sebagai kepercayaan tentang
eksistensi yang darinya secara personal dan sosial yang mereka usahakan. Sistem
nilai merupakan bagian yang sangat penting dari aspek budaya. Sebagai contoh,
budaya Asia banyak yang menekankan pada aspek harmoni, sebaliknya budaya barat
menekankan pada kesempurnaan individu.
2.5 Budaya dan
Perilaku Konsumen.
Dampak
budaya, sangatlah natural dan otomatis pengaruhnya terhadap perilaku manusia
seakan seperti terjadi dengan sendirinya. Schiftman, et al (1995) menyatakan
bahwa budaya ada untuk memuaskan kebutuhan manusia. Budaya menawarkan perintah,
petunjuk, dan arahan dalam semua fase pemecahan persoalan manusia dalam
memuaskan kebutuhan fisiologi, personal dan kebutuhan sosial. Sebagai contoh
budaya menyediakan aturan mengenai kapan akan makan, di mana akan makan, dan
apa yang tepat untuk dimakan pada saat pagi, siang dan malam, dan apa yang
harus disiapkan untuk pesta ulang, piknik, ataupun pesta pernikahan. Kebiasaan
ini tentu saja akan berimplikasi pada produk apa yang laku dan dapat ditawarkan
pada ke pasar.
2.6 Ritual dan
Perilaku Konsumen.
Ritual adalah aktivitas simbolik yang
terdiri dari serangkaian aktivitas (multiple behaviors) yang terus berulang
dari waktu ke waktu. Dalam praktek ritual dilakukan terhadap untuk memaknai
berbagai kejadian dari manusia lahir sampai dengan kematian. Ritual pada
umumnya dilakukan terbuka untuk umum, terkait dengan aspek spiritual atau
kepercayaan tertentu, atau upacara-upacara tertentu. Perilaku biasanya
dilakukan secara formal, dan tertulis.
Tharp dan Scott mengidentifikasi lima
peran simbolik dari produk yang menggambarkan nilai-nilai budaya:
(1) Produk
adalah alat untuk mengkomunikasikan status sosial.
Melalui
pemilikan produk tertentu seseorang berharap status sosial mereka akan terlihat
oleh masyarakat dan pada akhirnya terdapat pengakuan akan status tersebut. Bagi
masyarakat tertentu di Indonesia, memiliki mobil dengan merek tertentu akan
meningkatkan status sosial mereka. Demikian juga dengan pemilikan burung, bunga
tertentu, ataupun pemilikan vila di pegunungan.
(2) Produk adalah alat ekspresi.
Produk
merefleksikan nilai yang paling penting bagi konsumen. Pemasar menciptakan
simbol dan asosiasi tertentu yang agar produk yang mereka ciptakan mampu
mewakili ekspresi jiwa tertentu dari konsumennya. Beberapa produk ataupun merek
mempunyai personalitas seperti yang dicari oleh konsumen seperti citra
kesuksesan, pencapaian, kebebasan, individual, dan pengembangan diri. Rokok
Djarum, mencitrakan jiwa petualangan atau pemberani, sedangkan rokok Wismilak
mewakili citra rasa sukses.
(3) Produk
adalah alat untuk berbagi pengalaman.
Seringkali
keberadaan suatu produk dapat digunakan untuk berbagi pengalaman. Melalui
makanan dan minuman, pada saat tertentu, bunga dan hadiah adalah alat untuk
berbagi pada even-event tertentu. Pada perayaan imlek orang berbagi kue
ranjang, atau pada saat hari valentine orang berbagi hadiah.
(4) Produk
adalah sesuatu yang hedonis.
Seringkali
suatu produk merefleksikan nilai-nilai konsumen, seperti estetika, atau
kualitas sensualitas yang dapat mengakomodasi kesenangan kon sumen. Produk
seperti perhiasan emas, berlian, jam, parfum, furnitur, dan kerajinan adalah
produk yang menekankan aspek hedonisme. Merek-merek tertentu dari pakaian
seperti Channel, Pierre Cardin, Gucci menekankan kemewahan pemiliknya.
(5) Produk
adalah alat untuk mengenang.
Produk dapat mengingatkan konsumen
pada pengalaman masa lalu. Asesoris, merchandise, photo album dan CD adalah
produk yang dapat digunakan untuk menjadi alat kenang-kenangan. Bagi wisatawan,
keberadaan merchandise sangat penting untuk mengingat kesan wisatawan terhadap
tempat yang dikunjungi. Demikian juga dengan even/kejadian tertentu seperti
olimpiade, PON, Asian games, selalu diwarnai dengan penjualan memoribilia
sebagai alat untuk kenang-kenangan.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perilaku konsumen mempelajari bagaimana
seseorang membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya yang tersedia (waktu,
uang, dan usaha) untuk mendapatkan barang konsumsi, termasuk apa, mengapa,
kapan, di mana, seberapa banyak, seberapa sering membeli, dan seberapa lama
mereka menggunakannya. Sedangkan
budaya
adalah kumpulan tentang keyakinan, nilai, adat yang berfungsi untuk mengarahkan
perilaku konsumen di anggota masyarakat tertentu. Budaya
menawarkan perintah, petunjuk, dan arahan dalam semua fase pemecahan persoalan
manusia dalam memuaskan kebutuhan fisiologi, personal dan kebutuhan sosial.
Pesan dari komunikasi pemasaran dapat mempengaruhi keputusan
pembelian konsumen melalui
mengakui perbedaan budaya
yang telah dibahas sebelumnya. Sejak konsumen (Asia-lahir
umumnya) memberikan preferensi untuk tujuan kelompok atas tujuan
atau kepentingan individu, mungkin lebih efektif bagi pemasar untuk
berkomunikasi dengan mereka pada tingkat grup daripada pada tingkat individu. Di sisi lain, bagi pesan konsumen (kelahiran Australia) mungkin dikembangkan lebih dalam hal manfaat
fungsional atau kinerja.
4.2 Saran
Di tengah
arus globalisasi seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri berbagai kebudayaan
asing dapat masuk ke daerah, dengan mudah. Oleh karena itu, kita sebagai warga
Negara Indonesia diharuskan lebih jeli melihat setiap kebudayaan asing yang
masuk. Kita harus dapat memilah-milah mana budaya yang sesuai dan berdampak
positif ke kita atau mana yang berdampak negatif. Meskipun demikian, kita tidak
boleh lengah dengan kebudayaan asing, sehingga tidak mengetahui kebudayaan
sendiri. Kita prioritaskan kebudayaan lokal, dan boleh mengakulturasikan dengan
asing namun yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Giantara,
Mariani Shoshana Dan Jesslyn Santoso. Pengaruh Budaya, Sub Budaya, Kelas Sosial,
Dan Persepsi Kualitas Terhadap Perilaku Keputusan Pembelian Kue Tradisional
Oleh Mahasiswa Di Surabaya. Https://Media.Neliti.Com/Media/Publications/85316-Id-Pengaruh-Budaya-Sub-Budaya-Kelas-Sosial.Pdf
(Diakses Pada 5 Maret 2018).
Kussudyarsana.
2008. Budaya Dan Pemasaran Dalam Tinjauan Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku
Konsumen. Jurnal : Manajemen Dan Bisnis. Vol 12. Nomor 2. Https://Publikasiilmiah.Ums.Ac.Id/Bitstream/Handle/11617/1344/07-Kussudyarsana.Pdf?Sequence=1&Isallowed=Y
(Diakses Pada 5 Maret 2018).
Sumarwan,
U. (2003). Perilaku konsumen. Jakarta: Ghalia Indonesia
Semoga Bermanfaat
Indahnya Berbagi
:)
No comments:
Post a Comment