BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ekonomi
merupakan bagian vital yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa
pun orangnya, dari suku manapun, dari bangsa manapun, agama apapun, tidak akan
terlepas dari aspek yang satu ini. Bagaimana tidak, sejak manusia dilahirkan,
ia sudah memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Ekonomi tidak terlepas
dari perilaku bisnis.
Selama ini
banyak orang memahami bisnis adalah bisnis, yang tujuan utamanya memperoleh
keuntungan sebanyak banyaknya. Hukum ekonomi klasik yang mengendalikan modal
sekecil mungkin dan mengeruk keuntungan sebesar mungkin telah menjadikan para
‘pelaku bisnis’ menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, mulai dari
cara memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan, tempat produksi, tenaga
kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan seefesien
mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang
memperhatikan tanggungjawab sosial dan mengabaikan etika bisnis. Menurut Dawam
Rahardjo (1995) etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat, yaitu; individual,
organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi
pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran
sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang
sudah terikat kepada kebijakan perusahaan 2 dan persepsi perusahaan tentang
tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban
atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Pada kenyataanya para pelaku
bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika
bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau
religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam
berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip
bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas,
individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik (Dawam
Rahardjo,1995). Hal ini tidak hanya di Dunia Timur, di Dunia Barat atau
negara-negara industri maju, citra bisnis tidak selalu baik.
Etika bisnis dalam studi Islam
selama ini kajiannya lebih didasarkan pada al-Qur’an. Padahal Muhammad dalam
tinjauan sejarah dikenal sebagai pelaku bisnis yang sukses, sehingga kajian
tentang etika bisnis perlu melihat perilaku bisnis Muhammad semasa hidupnya.
1.2 Tujuan
dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Umum
Tujuan
umum yang ingin dicapai dalam bab ini adalah:
•
Mahasiswa mengerti dan memahami apa yang
dimaksudkan dengan etika bisnis Islam
•
Mahasiswa mengerti dan memahami prinsip-prinsip
etika bisnis Islam dan Al-Quran
•
Mahasiswa mengerti dan memahami pedoman
beretika bisnis Islam
•
Mahasiswa mengerti dan memahami etika
bisnis Muhammad SAW
1.2.2
Manfaat
Adapun
kegunaan dari makalah ini yaitu :
·
Menambah wawasan bagi pembaca
·
Dapat dijadikan refrensi bagi yang
membutuhkan
·
Dapat dijadikan bahan tugas lainnya
BAB
II
KAJIAN
LITERATUR
System
Etika Kontemporer Versus Sistem Etika Islami
Etika
kontemporer sebagian besar merupakan buatan manusia yang sifatnya relative dan
situsional serta kurang “legimated”
dukungan otoritas di belakangnya.
Ahli manajemen,
Horold Koontz mengakui bahwa di Barat, “tidak ada sumber standar etika. Dalam
bangsa yang mempunyai agama Negara, mungkin terdapat pusat sumber kewenangan
dalam mengajarkan praktik etika. Di AS, dengan banyaknya budaya etika dan
agama, tidak seorang pun yang menilik gereja, pemerintah, institusi pendidikan,
asosiasi swasta sebagai pusat tradisi etika”. Mereka tidak percaya bahwa ada
standar etika permanen yang bisa diikuti oleh hidup manusia. Di lain pihak
mereka percaya bahwa konsep moral, seperti halnya konsep lain, akan selalu
berubah seiring waktu.
Perspeksif Barat pada etika bisnis umumnya seperti
yang diungkapkan oleh Drucker berikut ini : “banyak khotbah yang diajarkan pada
etika bisnis dan pebisnis. Kebanyakan tidak ada yang bisa dilakukan terkait
bisnis serta sedikit terkait etika. Hal ini seperti memperkerjakan gadis
panggilan untuk menghibur pelanggan, bukanlah masalah etika melainkan
estetika.” Bisa disimpulkan bahwa dunia Barat memandang bisnis dan etika
merupakan perilaku yang terpisah. Berikut ini, perbandingan system etika
kontermporer yang sebagian besar berasal dari pemikiran Barat, dengan system
etika Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist :
Perbandingan Sistem Etika
No
|
Sistem Etika
|
Kriteria
Pengambilan Keputusan
|
1.
|
Relativisme (self-interest)
|
Keputusan
yang berkaitan dengan etika dibuat berdasarkan kepentingan individu (self
interest) dan kebutuhan.
|
2.
|
Utilitarianisme
(calculation of cost and benefit)
|
Didasarkan
kepada perhitungan biaya (cost) dan keuntungan (benefit). Sebuah tindakan
dianggap etis bila itu emberikan keuntungan terbesar bagi banyak orang.
|
3.
|
Universalisme
(duty)
|
Tergantung
dari niat kenapa tindakan dilakukan. Dalam kondisi yang sama, keputusan yang
serupa semestinya diambil semua orang.
|
4.
|
Rights (individual entitlement)
|
Menekankan
pada nilai tunggal, kebebasan, yang berorientasi kepada hak individu yang
memastikan kebebasan memilih.
|
5.
|
Distributive
justice (fairness and equity)
|
Menekankan
pada nilai tunggal, keadilan, dan memastikan distribusi yang merata dari
kekayaan dan keuntungan.
|
6.
|
Eternal Law (scripture)
|
Keputusan
diambil berdasarkan hukum abadi yang bersumber pada kitab suci (scripture)
|
7.
|
Sistem Etika
Islam
|
· Tindakan dan keputusan dianggap sesuai etika
tergantung dengan niatnya. Allah Maha Melihat mengetahui niat yang sebenarnya
dari tindakan individu.
· Niat yang baik diikuti dengan tindakan yang baik
dinilai sebagai ibadah. Niat yang baik (halal intention) tidak serta merta
mengubah tindakan yang haram menjadi halal. Dengan kata lain, tidak ada
dokrin menghalalkan segala cara.
· Islam membolehkan individu untuk bebas percaya
dan bertindak sesuai keinginan, selama tidak mengorbankan akuntabilitas dan
keadilan.
· Keputusan yang memberikan manfaat untuk mayoritas
atau bahkan minoritas tidak otomatis etis dalam pandangan Islam. Oleh karena
itu “etis tidak etis” tidak didasarkan jumlah pelakunya.
· Islam menggunakan pendekatan system yang terbuka,
bukan pendekatan system yang tertutup yang mendasarkan pada orientasi pribadi
(self-oriented). Egoism tidak mendapat tempat dalam Islam.
· Keputusan yang etis mendasarkan rujukan kepada
ayat yang tertulis (Al-Qur’an) dan ayat yang tersebar di alam semesta
(kauniyyah).
· Tidak seperti system etika yang lain, etika Islam
mendorong manusia untuk membersihkan diri (tazkiyyah) melalui pastisipasi
aktif dalam hidup. Dengan melakukan segala tindakan dalam koridor etika,
seorang muslim telah mengabdikan hidupnya sesuai dengan perintah-Nya.
· Etika Islam tidak terpisah, melainkan nilai yang
harmonis dan lengkap, seimbang, dan adil.
|
Etika
dalam Perspektif Islam
Islam
menempatkan nilai etika dalam hidup manusia di tempat paling tinggi. Secara
terminology yang paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam yaitu akhlak.
Akhlak dalam konteks Al-Quran terdapat dalam terjemahan ayat berikut :
“Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti (akhlak) yang luhur.” (QS.68:
4)
“Maka berkat
rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka untuk urusan itu.”
(QS. 3: 159)
Menurut
pandangan Islam, etika merupakan pedoman yang digunakan umat Islam untuk
berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Dalam hukum ekonomi Islam (muamalat)
etika bisnis merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan ekonomi
secara keseluruhan. Etika bisnis Islam merupakan nilai-nilai etika Islam dalam
aktivitas bisnis yang telah disajikan dari perspektif Al-Quran dan Hadist, yang
bertumpu pada 6 prinsip :
- Kebenaran
- Kepercayaan
- Ketulusan
- Persaudaraan
- Pengetahuan
- Keadilan
Etika bisnis Islam dianggap penting untuk
mengembalikan moralitas dan spiritualitas ke dalam dunia bisnis. Hanya instuisi
dan perusahaan yang menerapkan standar etika, yang terbukti lebih sukses dalam
jangka panjang yang bisa dijadikan sebagai keunggulan bersaing. Produk yang
bagus boleh ditiru, tetapi reputasi sebagai hasil dari penerapan etika akan
sangat sulit untuk ditandingi.
Terminology Etika dalam Al-Quran
Selain akhlak,
terminology etika dalam Al-Quran, bisa dihungungkan dengan istilah berikut :
- Khayr (kebaikan)
Lawan katanya yaitu sharr (keburukan).
- Birr (kebajikan)
Dasar konsep ini adalah “kamu tidak akan memperoleh
kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai” (QS. 3:
92)
- Qist (persamaan)
Dalam konsteks Al-Quran merujuk pada pengertian
berikut : jalan yang lurus (QS. 16:9; QS. 31: 32)dan pertengahan golongan
pertengahan.(QS. 35: 32; QS. 5:66).
- Adl (keseimbangan dan keadilan)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar,
dan timbanglah dengan timbangan yang benar”(QS. 17: 35)
- Haqq (kebenaran)
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran
(haqq) dan yang kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyika kebenaran, sedang
kamu mengetahuinya” (QS. 2:42)
- Ma’ruf (yang diperintahkan)
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. 3 : 104)
Selain
istilah-istilah di atas, secara terminology etika dalam Al-Quran juga bisa
diartikan ihsan, saleh, takwa, dan lain sebagainya.
Factor yang Membentuk Etika Individu Perspektif
Umum dan Islam
- Interpretasi terhadap Hukum
Dalam masyarakat sekuler, interpretasi legal
berdasarkan kontemporer dan standar serta nilainya bersifat sementara,
sedangkan dalam masyarakat Islam nilai dan standar didasarkan pada prinsip
syariah dan kaidah fiqih. Di AS, dahulunya diskriminasi terhadap wanita dan
kaum minoritas dalam proses rekrutmen kru adalah legal dan sesuai etika,
sekarang hukum aksi afirmatif melarang bentuk diskriminasi ini. Selama itu,
Islam melalui Al-Quran memberikan hal yang saat pada wanita dan kaum minoritas
serta tidak boleh melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun.
- Factor Organisasi
Organisasi juga dapat memengaruhi perilaku
anggotanya. Salah satu kunci sukses pengaruh organisasi adalah komitmen dari
pipinan organisasi dalam menjalankan etika.
- Factor individu
Individu memperngaruhi etika melalui :
1. Tahapan perkembangan moral: masa anak-anak sebelum
pubertas dan masa dewasa.
2. Kepribadian dan nilai personal: seseorang yang
jujur akan berperilaku sangat berbeda dengan orang yang tidak menghargai
kepemilikan orang lain.
3. Pengaruh keluarga : pembentukan standar etika
seseorang dimulai sejak anak-anak.
4. Pengaruh peer (kelompok) : saat anak tubuh besar
dan sekolah, maka kelompok atau orang yang berinteraksi dengannya akan
memengaruhi perilaku anak.
5. Pengalaman hidup: baik negative maupun positif,
peristiwa yang terjadi akan memengaruhi hidup seseorang dan menentukan ilia
etika yang dimiliki serta pengaruhnya.
6. Factor situsional : orang bisa berperilaku tidak
etis dalam situasi tertentu karena mereka melihat tidak ada jalan keluar.
Pedoman Bisnis yang Beretika Menurut Ibn Taymiyyah
Imam Ibn
Taymiyyah dalam kitab Al Hisbah memberikan pedoman bagaimana menentukan cara
bisnis yang beretika, antara lain :
1.
Sempurna dalam
timbangan
2.
Hindari
penipuan dan kecurangan
3.
Hindari kontrak
bisnis yang tidak sah (ilegal)
4.
Kondisi
ketidaksempurnaan pasar
5.
Hindari
penimbunan (ikhtikar)
Prinsip-prinsip Etika Bisnis Menurut Al-Quran
1. Melarang bisnis yang dilakukan dengan proses
kebatilan (QS.4: 29). Bisnis harus didasari pada kerelaan dan keterbukaan
antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Orang yang berbuat
batik termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak dan berdosa besar (QS. 4: 30)
sementara orang yang menjauhinya, makan akan selamat dan mendapatkan kemuliaan
(QS. 4: 31).
2. Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba (QS. 2:
275)
3. Kegiatan bisnis juga memiliki fungsi social baik
melalui zakat dan sedekah (QS. 9: 34). Pengembangan harta tidak akan terwujud
kecuali melalui interaksi antarsesama dalam berbagai bentuknya.
4. Melarang pengurangan ha katas suatu barang atau
komoditas yang didapat atau diproses dengan media takaran atau timbangan karena
merupakan bentuk kezalian (QS. 11: 85).
5. Menjunjung tinggi nilai-nilai kesetimbangan baik
ekonomi maupun social, keselamatan dan kebaikan, serta tidak menyetujui kerusakan
dan ketidakadilan.
6. Pelaku bisnis dilarang berbuat zali (curang) baik
bagi dirinya sendiri maupun juga kepada pelaku bisnis yang lainnya. (QS. 7: 85,
QS.2: 205)
Kode etik moral
dalam Isla untuk menentujan apakah sebuah tindakan boleh dilakukan (lawfulness/halal) atau tidak boleh
dilakukan (haram), bergantung pada bagaimana kasus itu dilihat dari posisi
hukum ketika dihadapkan pada teks (Al-Quran dna Hadist). Dlam fiqih dikenal
huku taklifi, yaitu :
- Ijab (mewajibkan).
- Nadh (anjuran untuk melakukan)
- Tahrim (melarang)
- Karahah (anjuran untuk meninggalkan)
- Ibahah (boleh)
Prinsip-Prinsip
Etika Bisnis Al-Qur’an
1.
Kesatuan
(unity) Adalah
kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan
keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi
dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan
keterpaduan agama,ekonomi,dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar
pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal,membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam
(Naqvi, 1993: 50-51).
2.
Keseimbangan
(keadilan)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan
bisnis,Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang
tidak disukai.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah:8.
Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang
berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan
yang kita lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis.
(Beekun, 1997: 23.) Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan
merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun
entitas bisnis.
3.
Kehendak
Bebas
Kebebasan merupakan bagian penting
dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan
kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi
seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.Sampai pada tingakat tertentu, manusia dianugerahi
kehendak bebas untuk memberi arahan dan membimbing kehidupannya sendiri sebagai
khalifah di mukabumi (Qal-Baqarah, 2:30). Berdasarkan prinsip kehendak bebas
ini, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian termasuk
menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja seorang muslim yang percaya
kepada kehendak Allah akan memuliakan semua janji yang dibuatnya. (Beekun,1997:
24).
4.
Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal
mustahil, lantaran tidak menuntut tanggung jawab. Menurut Al-Ghozali, konsep
adil meliputi hal bukan hanya equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan.
Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung
jawabkan tindakannya. Allah menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan
manusia, (Q.S. 4:123-124).) Karena itu menurut Sayyid Qutub prinsip
pertanggungjawaban Islam adalah pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala
bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga,
individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. (Beekun,
1997: 103)
5.
Kebenaran:
Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain
mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur
yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan
sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan. Adapun kebajikan adalah sikap ih san,yang
merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun,
1997: 28). Dalam al-Qur’an prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran
dapat diambil dari penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau
transaksi bisnis.Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalahsikap
kesukarelaan dan keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela
antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian
bisnis. Hal ini ditekankan unt uk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan
serta cinta mencintai antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur
dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun.
Sikap ini dalam khazanah Islam dapat dimaknai dengan amanah. Dengan prinsip
kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif
terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi
,kerjasama atau perjanjian dalam bisnis. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan
kejujuran demikian maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan
persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian
dan penyesalan.
BAB III
BEDAH KASUS
Etika Bisnis Muhammad
Keberhasilan
Muhammad dalam berbisnis dipengaruhi oleh kepribadian diri Muhammad yang
dibangunnya atas dasar dialogis realitas sosial masyarakat Jahiliyyah dengan
dirinya. Kemampuan mengelola bisnis tanpak pada keberaniannya membawa dagangan
Khadijah dan ditemani hanya seorang karyawan (Maisarah). Jika ia tidak memiliki
pengalaman dan kemampuan berdagang maka ia hanya akan menjadi pendamping Maisarah.
Ia bertanggungjawab penuh atas semua dagangan milik Khadijah. Demikian juga
barang-barang dagangannya yang ia bawa dari pasar ke pasar atau tempattempat
festival perdagangan. Berikut beberapa etika bisnis Muhammad Dalam praktek
bisnisnya antara lain:
1.
Kejujuran.
Dalam
melakukan transaksi bisnis Muhammad menggunakan kejujuran sebagai etika dasar.
Gelar al-Amīn (dapat dipercaya) yang diberikan masyarakat Makkah berdasarkan
perilaku Muhammad pada setiap harinya sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Ia
berbuat jujur dalam segala hal, termasuk menjual barang dagangannya. Cakupan
jujur ini sangat luas, seperti tidak melakukan penipuan, tidak menyembunyikan
cacat pada barang dagangan, menimbang barangn dengan timbangan yang tepat, dan
lain-lain. Praktek ini dilakukan dengan wajar dan menggunakan bahasa yang
santun. Beliau tidak melakukan sumpah untuk menyakinkan apa yang dikatakannya,
termasuk menggunakan nama Tuhan.
Dalam
konteks sekarang, sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip
etika bisnis karena mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu menipu untuk
meraup untung besar. Memang etika ini agak problematic karena masih banyak
pelaku bisnis sekarang yang mendasarkan kegiatan bisnisnya dengan cara curang,
karena situasi eksternal atau karena internal (suka menipu). Sering pedagang
menyakinkan katakatanya disertai dengan ucapan sumpah (termasuk sumpah atas
nama Tuhan). Padahal kegiatan bisnis yang tidak menggunakan kejujuran sebagai etika
bisnisnya, maka bisnisnya tidak akan bisa bertahan lama. Para pelaku bisnis
modern sadar bahwa kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilan,
termasuk untuk mampu bertahan dalam jangka panjang dalam suasana bisnis yang
serba ketat dalam bersaing.
2.
Amanah.
Bentuk
masdar dari amuna, ya’munu yang artinya bisa dipercaya. Ia juga memiliki arti
pesan, perintah atau wejangan. Dalam konteks fiqh, amanah memiliki arti
kepercayaan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan harta benda.
Muhammad dalam berniaga menggunakan etika ini sebagai prinsip dalam menjalankan
aktivitasnya. Ketika Muhammad sebagai salah satu karyawan Khadijah, ia
memperoleh kepercayaan penuh membawa barang-barang dagangan Khadijah untuk
dibawa dan dijual di Syam. Ia menjaga barang dagangannya dengan baik selama
dalam perjalanan. Dengan ditemani Maisarah, Muhammad menjual barang-barang tersebut
sesuai dengan amanat yang ia terima dari Khadijah. Agar barang dagangannya aman
selama dalam perjalanan, Muhammad bersama-sama dengan rombongan kafilah dagang.
Selama dalam perjalanan kafilah-kafilah tersebut merasa aman karena dikawal
oleh tim keamanan atau sudah ada jaminan dari suku tertentu. Setelah sampai di
kota tujuan, Muhammad dan Maisarah membongkar barang dagangannya. Mereka berdua
menggelar barang dagangannya dan menawarkan barang tersebut kepada para
pengunjuang. Barang dagangan tersebut habis terjual. Sebelum pulang Muhammad
membeli beberapa barang untuk dijual di Makkah. Dari barang yang dibelinya,
Muhammad juga memperoleh keuntungan. Tanpa diduga keuntungan Muhammad sangat besar
dan membuat majikannya puas. Hasil keuntungan tersebut ia laporkan dan serahkan
kepada Maisarah tanpa kurang sedikitpun. Setelah itu Muhammad diberi upah besar
sesuai dengan perjanjiannya, yakni empat kali dari gaji yang biasanya Khadijah
berikan kepada karyawan lainnya.
3.
Tepat menimbang.
Etika
bisnis Muhammad dalam menjual barang harus seimbang. Barang yang kering bisa
ditukar dengan barang yang kering. Penukaran barang kering tidak boleh dengan
barang yang basah. Demikian juga dalam penimbangan tersebut seseorang tidak
boleh mengurangi timbangan. Dalam transaksi Muhammad menjauhi apa yang disebut dengan
muzabana dan muḥaqala. Muzabana adalah menjual kurma atau anggur segar (basah)
dengan kurma atau anggur kering dengan cara menimbang. Muzabana pada dasarnya
adalah menjual sesuatu yang jumlahnya, berat atau ukurannya tidak diketahui
dengan sesuatu yang jumlahnya, berat atau ukurannya diketahui dengan jelas. Muḥaqala
adalah jual beli atau penukaran antara gandum belum dipanen dengan gandum yang
sudah digiling atau menyewakan tanah untuk ditukarkan dengan gandum. Apa yang
dilakukan Muhammad di pasar Ukaz, Majinna, dan pasar-pasar lainnya adalah
menjual beberapa barang, seperti kurma, anggur, gandum dan sejenisnya. Muhammad
menimbang berat tersebut sesuai dengan ukurannya. Ia tidak mengurangi
sedikitpun, sehingga kejujuran dan ketepatannya dalam menimbang sudah tersebar
dimana-mana. Jika orang membeli barang dari Muhammad, mereka tidak ragu atas
timbangannya.
4.
Gharar
Menurut
bahasa berarti al-khatar yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau
tidaknya. Dalam akad, gharar bisa berarti tampilan barang dagangan yang menarik
dari sigi zhahirnya, namun dari sisi substansinya belum tentu baik. Dengan kata
laian gharar adalah akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya
kepastian, baik mengenai ada atau tidak adanya objek akad, besar kecilnya
jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan dalam akad tersebut.
Dalam
prakteknya Muhammad menjauhi praktek gharar, karena memuka ruang perselisihan
antara pembeli dan penjual. Muhammad juga melarang penjualan secara urbun (bai’
al-urbun). Muhammad melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka
(panjar) dan uang itu hilang jika pembelian dibatalkan. Penjualan yang
menyertai urbun adalah seorang pembeli atau penyewa mengatakan:” Saya berikan
lebih dahulu uang muka kepada Anda. Jika pembelian ini tidak jadi saya
teruskan, maka uang muka itu hilang, dan menjadi milik Anda. Jika barang jadi
dibeli maka uang muka itu diperhitungkan dari harga yang belum dibayar.”
Cakupan gharar ini sangat luas :
·
Ketidakmampuan
penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad
itu sudah ada atau belum ketika akad berlangsung, seperti menjual janin yang masih
ada dalam perut binatang ternak.
·
Menjual
barang yang tidak berada di bawah kekuasaannya, seperti menjual barang kepada
orang laian sementara barang yang akan dijual belum diterima dan masih berada
di penjual sebelumnya. Hal ini tidak dibenarkan karena boleh jadi barang itu mengalami
perubahan atau rusak.
·
Tidak
adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Barang
dagangan dan pembayarannya kabur tidak jelas.
·
Tidak
adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual, seperti penjual
berkata, “Saya jual kepada Anda baju yang ada di rumah saya.” Penjual tidak tegas
menjelaskan baju yang mana, warna dan ukurannya, dan ciri-ciri lainnya.
·
Tidak
tegas jumlah harganya.
·
Tidak
tegas waktu penyerahan barangnya.
·
Tidak
adanya ketegasan bentuk transaksi.
·
Tidak
adanya kepastian objek, seperti adanya dua objek yang dijual dengan kualitas
yang berbeda dengan harga sama dalam satu transaksi. Penjualan ini tidak tegas
objek yang akan dijual.
·
Kondisi
objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan
yang ditentukan dalam transaksi. Cara penjualan sebagaimana disebutkan
di atas tidak sesuai denga etika Muhammad dalam berbisnis.
yang ditentukan dalam transaksi. Cara penjualan sebagaimana disebutkan
di atas tidak sesuai denga etika Muhammad dalam berbisnis.
5.
Tidak
melakukan penimbunan barang.
Penimbunan ini tidak diperbolehkan
karena akan menimbulkan kemadharatan bagi masyarakat karena barang yang
dibutuhkan tidak ada di pasar. Tujuan penimbunan dilakukan dengan sengaja sampai
dengan batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang-barang tersebut.
Muhammad dalam praktek bisnisnya menjauhi tindakan penimbunan. Barang dagangan
yang dibawanya selalu habis. Bahkan jika perlu barang-barang dagangan yang
dimiliki oleh Khadijah akan dijual semuanya. Namun karena keterbatasan alat
transportasi Muhammad membawa barang secukupnya. Muhammad sadar bahwa kebutuhan
sehari-hari harus didistribusikan dengan baik. Barang dagangan tidak boleh
disimpan lama sehingga barang tersebut langka dijumpai di pasar. Berdasarkan
teori pasar, jika barang sedikit dan permintaan pasar besar maka harga barang
menjadi tinggi. Jika harga tinggi maka keuntungan besar dapat diperoleh para
pedagang. Namun konsumen akan mengalami kesulitan, khususnya mereka yang tidak
mampu membayar sesuai dengat harga tinggi yang menjadi tuntutan pasar.
Dalam tradisi Jahiliyyah, penimbunan
barang merupakan salah satu strategi untuk memperoleh keuntungan besar. Tradisi-tradisi
penimbunan barang ini seolah-olah sudah terjadwal dari bulan ke bulan.
6. Tidak melakukan al-ghab dan tadlīs.
Al-ghab artinya al-khada (penipuan),
yakni membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga rata-rata. Sedangkan tadlīs yaitu penipuan yang dilakukan oleh pihak penjual
atau pembeli dengan cara menyembunyikan kecacatan ketika terjadi transaāksi.
Dalam bisnis modern perilaku al-ghab atau tadlīs bisa terjadi dalam proses mark
up yang melampaui kewajaran atau wan prestasi.
Rahasia kesuksesan Muhammad dalam
praktek bisnisnya dilakukan dengan menerapkan harga yang sedang tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu rendah. Baginya yang penting adalah sirkulasi barang
diantara para pedagang dan pembeli. Jangan sampai barang hanya berputar pada
sekelompok tertentu saja. Tetepai barang tersebut terdistribusi ke lapaisan
masyarakat. Jika perputaran baārang berjalan dengan baik, maka aktivitas bisnis
menjadi stabil, dan harga dapat dijangkau oleh masyarakat. Dalam hal ini
Muhammad juga menjual sesuai dengan harga. Ia tidak memanipulasi harga dan
tidak kompromi kepada pembeli yang menaikkan harga agar ia memperoleh keuntungan.
Mark up dilakukan oleh pembeli ketika ia memperoleh pesanan dari pihak lain.
Etika Muhammad dalam menyampaikan informasi seputar barang dagangannya
dilakukan secara rinci. Ia tidak menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.
Jika pembeli meminta atas kejujuran Muhammad atas kondisi barang dagangannya
dengan sumpah atas nama Tuhan, Muhammad selalu menolaknya. Baginya berkata
jujur merupakan kunci kesuksesan bisnis.
7.
Saling
menguntungkan. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam bisnis para pihak harus
merasa untung dan puas. Etika ini pada dasarnya mengakomodasi hakikat dan
tujuan bisnis. Seorang produsen ingin memperoleh keuntungan, dan seorang
konsumen ingin memperoleh barang yang bagus dan memuaskan, maka sebaiknya
bisnis dijalankan dengan saling menguntungkan. Dalam berniaga Muhammad mendeskripsikan
barang dagangan yang akan dibeli oleh konsumen. Jika barang ada cacatnya
Muhammad mengatakannya terus teras. Jika barang dagangan bagus, ia
mengatakannya sesuai dengan keadaannya. Bahkan dalam satu riwayat, Muhammad
memberitahukan harga pembeliannya, dan seberapa banyak konsumen akan memberikan
keuntungan diserahkan sepenuhnya kepada konsumen. Atas dasar sikap Muhammad ini,
konsumen yang merasa puas atas barang yang dibelinya, ia akan memberikan
keuntungan atau jasa lebih karena perasaan puas.
Legislasi dan Pesan Muhammad dalam
Berbisnis
Muhammad
menjadi pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh lingkungannya sejak ia kecil hingga
dewasa, dan menikah dengan Khadijah. Pengalaman berbisnis yang diperolehnya
sebelum ia menjadi Rasul merupakan hasil pergulatannya dengan realitas sosial.
Dan setelah ia menjadi Rasul, sebagian pengalamannya dituangkan dalam sabdanya,
yang disebut dengan hadits. Ada beberapa pesan Rasulullah dalam bisnis, antara
lain:
1.
Jual
beli harus dilakukan atas dasar kesepakan (‘an tarāḍin) antara penjual dan
pembeli. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika
dilakukan atas dasar suka sama suka (‘an tarāḍin).”
2.
Barang
yang menjadi objek transaksi harus suci. Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa ia mendengar
Rasulullah bersabda pada waktu fath al-Makkah: “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, daging babi, dan
berhala.” Kemudian dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapatmu tentang lemak
bangkai yang dapat dijadikan penambal perahu, pencat kulit dan yang dijadikan
minyak lampu oleh manusia?” Beliau menjawab: tidak boleh, hukumnya tetap
haram.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah setelah mengharamkan
kepada orang-orang Yahudi lemak bangkai, mereka mengolah lemak tersebut,
kemudian menjualnya dan memakan uang (harga)-nya.”
3.
Tidak
ada unsur penipuan (gharar) Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW melarang jual haṣah
dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu, dan tempatnya).
4.
Barang
jelas posisi dan ukurannya (berat – jumlah). Dari Abdullah bin Mas’ud berkata,
bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian membeli ikan dalam air karena padanya
terkandung unsur penipuan.” Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa
Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali bila
sama ukurannya. Janganlah kalian melebihkan sebagian terhadap sebagian yang
lain. Janganlah kalian menjual uang kertas dengan uang kertas kecuali jumlahnya
sama, dan janganlah kamu lebihkan sebagian terhadap sebagian yang lain. Dan
janganlah kalian menjual barang yang belum jelas wujudnya dengan barang yang
nyata wujudnya.”
5.
Barang
yang dijual merupakan hak milik. Sesungguhnya Hakim bin Hizam telah
menceritakannya, berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah membeli suatu
barang, apakah yang halal untuk saya lakukan dan apa yang haram?” Beliau menjawab:
“Apabila engkau membeli sesuatu janganlah engkau jual sampai engkau sendiri
memegangnya.”
6.
Segera
membayarkan upah. Diriwayatkan dari Abdillah bin ’Umar berkata, Rasulullah
bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”
7.
Tidak
berkhianat kepada relasi bisnis Dari Abu Hurairah—semoga Allah mengangkat
derajatnya— bahwa Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Aku adalah pihak yang
ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak
mengkhianati temannya. Bila salah seorang diatara keduanya berkhianat, Aku
keluar dari perselisihan keduanya.”
8.
Tidak
menimbun barang. Dari Ibn ’Umar (bahwa)
Nabi SAW (bersabda): “Barang siapa yang menimbun makanan selama empat puluh
hari (dengan tujuan menaikkan harga) ia telah berlepas diri dari Allah, dan
Allah juga telah berlepas diri darinya.”
9.
Tidak
melakukan transaksi ribawi. Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata bahwa
Rasulullah mengutuk pemakan riba, orang yang memberi pinjaman, orang yang
mewakilinya (orang yang utang), orang yang mencatatnya, dan orang yang menjadi
saksinya. Dan ia berkata: “Mereka semuanya sama (hukumnya).”
DAFTAR
PUSTAKA
Riawan Amin A. 2010. MENGGAGAS MANAJEMEN SYARIAH. Jakarta:
Salemba Empat
Mujahidin, Akhmad. Maret 2009. ISLAMICA. Volume 3, Nomor 2.
Saifullah, Muhammad. Mei 2011. ETIKA BISNIS
ISLAMI DALAM PRAKTEK BISNIS RASULULLAH. Volume 19, Nomor 1.
No comments:
Post a Comment